Kamis, 10 Desember 2015

JALUR PERAHU DARI PAKEL KE TULUNGAGUNG

Pangkalan perahu

Pecuk beropa daratam. Selatan jalan raya Desa Pecuk berupa rawa, sehingga sekarang tanahnya tinggi selatan.

Timur rumah Pak Carik Lama, barat SD Pecuk 1, dulu ada sumber air yang tak pernah kering di musim kemarau.

jalan dari Desa pecuk sampai Ke Pakel dan Sodo ada;ah jalan lama. bentuknya berkelok mengikuti tepian rawa.

SMPN Pakel 1 dulu berupa rawa sampai ke Desa Wates. Di Desa Wates, dulu banyak rumah rumah rawa. dari bambu bertingkat

Batas darat dari Pecuk, Sanan, Bangun Jaya, berupa darat. Ngrance sebagaian barat yang berupa daratan
Sanan barat jalan berupa rawa rawa. Dusun Bogor, dulu berupa rawa, ada yang naik perahu. Perahu dari wit arem. Perahu aren juga dinamakan Perahu Bogor. Ada yang tenggelam di rawa, membawa perahu Bogor, dinamakan Bogor.


Jika ingin ke Tulungagung, dari Desa Pecuk menuju ke Wates,  atau naik perahu dari Pecuk Ke Campurdarat, timur jembatan. Barulah jalan kakai atau naik dokar ke Tulungagung.

Kalau Tulungagung banjir, termasuk alon alon,


Gempolan daratan Kendal berupa rawa, sampai dukuh Jeruk, Desa Dukuh ke utara berupa daratan
Naik perahu terahir sampai ke dukuh (Sekarang SMPN 2 Gondang)
Dari Dukuh ke utara berupa daratan. Jadi jalan raya sekarang adalah jalan lama bukan jalan bentukan baru . Mulai dari Kendal, Jeruk sampai Gempolan ke selatan sampai suweden rawa. sampai di Gebang

Suweden ke tumur sampai Gesikan beruparawa sampai desa wates



Selasa, 08 Desember 2015

JALUR KERETA API TULUNGAGUNG CAMPURDARAT KEDUNG LURAH TRENGGALEK

Tulungagung adalah daerah yang penuh kenangan. Kenangan sebagai tanah rawa, kenangan sebagai tanah subur dengan berbagai perkebunan tebu. Bahkan ada dua pabrik tebu yang besar pada saat penjajahan Belanda. Pabrik Tebu Mojo Panggung dan Pabrik Tebu Kunir Kaliwungu Ngunut. 

Keberadaan pabrik tersebut membuat kenangan transportasi tersendiri. Untuk angutan tebu dari perkebunan ke pabrik digunakan lori, yaitu gerbong yang diangkut dengan lokomotif dengan rel kereta api. Sehingga, dari dan menuju ke pabrik tebu, banyak rel-rel kereta api yang sekarang juga masih difungsikan di sekitar pabrik Mojopanggung.

 Jalur kereta api pada jaman dulu, dimulai dari stasiun Tulungagung ke arah selatan, Tamanan, Boyolangu, Campurdarat. Sampai di depan Balai Desa Sodo yang sekarang, belok ke kanan menuju arah barat, ke Bandung, Kedung lurah , Tugu, Trenggalek di Campurdarat belakang SD 1, masih ada tempat untuk menambah air lokomotif kereta api. Jalur yang masih bisa dilacak terdapat di Jembatan di Sungai Selatan Stasiun Tulungagung Perempatan Sebelah barat SDN Bago 3 Tulungagung depan Nirwana Plasa belakan Nirwana Plasa atau di belakang Hotel Crown Victory Tulungagung Jalur kiri jalan raya Boyolangu Tempat oengisian air di belakang SD 1 Campurdarat Jembatan di selatan Jembatan Campurdarat

 Di selatan Universitas Tulungagung juga masih ada bekas rel kereta. Batu kricak ciri khas milik PJKA masih ada.. Polsek Boyolangu dulu bekas stasiun kereta api. Jalur Tulungagung-Trenggalek mulai Kedung lurah, Ngetal jalur berada di kiri jalan raya. Menyeberang jalan raya arah barat laut barat ptigaan ngetal. Utara sungai Ngasinan depan SMA 2 Trenggalek . Di utara masih ada jembatan yang utuh pondasi jembatan yg msh utuh, jembtan plengkung utara Pasar Bendo dulunya brada di sungai/dam timur Pasar Bendo

 Nrarasumber Bapak Muyo diharjo, Mantan Kades Pecuk Pakel, yang pernah menjabat kades selama 21 tahun (7 Des 2015)


 Di bawah ini, hasil penelusuran dari blogger http://railfansina.blogspot.co.id/2013/02/tracking-jalur-mati-tulungagung.html

 Gang itulah di masa hampir seabad yang lalu merupakan railbaan jalur mati Tulungagung-Trenggalek. Lurus ke selatan sepanjang hampir 1km railbaan ini menjadi jalan kampung, dan sebagian besar sudah lama diaspal. Gang tersebut tembus hingga jalan raya di depan pertokoan Nirwana Plasa. Tidak jauh dari pos PJL 248 tadi, 100m ke selatan terdapat bekas jembatan KA yang terbuat dari besi. Jembatan tersebut merupakan satu-satunya rangka jembatan besi yang ada di jalur mati ini. Bila kita naik KA dari atau ke Blitar, bila melihat ke barat pada saat menikung akan masuk stasiun Tulungagung, pasti akan terlihat jembatan besi berwarna merah keoranyean yang melintang diatas sungai kecil. Jalan Bekas Railbaan di Belakang Plasa Nirwana Rel yang Nampak di Pertigaan Belakang Nirwana Plasa Jembatan yang menjadi saksi bisu bagi sebagian orang di Kota Tulungagung yang mengerti bahwa dulu sebelum Indonesia merdeka terdapat jalur KA menuju Trenggalek, hingga kini masih berfungsi sebagai jembatan penyeberangan warga.

 Akan tetapi, mungkin hanya inilah satu-satunya aset PT KAI yang berada di jalur mati Tulungagung-Trenggalek, sedangkan yang seterusnya hingga akhir rute, bukan lagi milik PT KAI. Pertigaan Belakang Nirwana Plasa Itu karena jalur ini sudah mati atau nonaktif semenjak Indonesia belum merdeka, atau kala itu jalur KA wilayah Tulungagung hingga Trenggalek masih milik Staats Spoorweagen (SS), sehingga seluruh aset perusahaan KA maupun TREM milik pemerintah Belanda maupun swasta Belanda yang diakuisisi setelah Indonesia merdeka hanya jalur KA/trem yang kala itu masih aktif dan beroperasi.

 Menyusuri railbaan awal rute, dari stasiun ke selatan saya melewati jalan perkampungan warga. Jalan tersebut sudah beraspal dan 'bermuara' di perempatan timur pertokoan Nirwana Plasa.Di perempatan tersebut, saya menyeberang ke selatan, masuk lagi di gang yang agak membelok (nampak pada foto). Sebenarnya di awal gang yang berada di selatan jalan raya itu, terdapat sepotong rel yang terpendam cor-coran di tepi jalan, juga terdapat sebatang rel yang berdiri di dekatnya. Namun saya lupa mengambil gambarnya.

Lanjutkan perjalanan, saya masuk ke selatan gang, kira-kira sejauh 150m hingga mentog di pertigaan (sebenarnya itu sebuah perempatan, namun jalan yang ke selatan merupakan jalan kecil, yang saya tidak tahu ada tembusnya atau tidak, jadi saya anggap pertigaan saja). Tikungan dekat Pasar Burung Beji Jalan di Depan SMAN 1 Boyolangu. Bekas Railbaan Berada di Kiri Jalan Di pertigaan tersebut saya pernah menemukan 2-4 batang rel yang terpendam aspal, saya menduga rel tersebut bekas simpang wesel. Sayangnya pada saat penelusuran saya kali ini, rel yang nampak hanya 1 batang saja. Simpang yang sebelah kiri merupakan jalur utama ke Boyolangu hingga Trenggalek, sedangkan yang sebelah kanan saya tidak tahu mengarah kemana.

Tapi sebuah informasi di dunia maya, yang saya lupa sumbernya, dulu plasa Nirwana merupakan kompleks pabrik minyak. Entah benar atau tidak, hanya sejarah yang mengetahuinya. Dulu saya juga pernah menemukan sebatang bantalan besi yang dijadikan tempat duduk di dekat pos ronda yang ada dipertigaan itu, tapi saat penelusuran ini, saya tidak mendapatinya lagi. Di pertigaan tersebut, saya belok kanan ke arah barat menuju pertigaan jalan raya dari perempatan tamanan ke selatan menuju Boyolangu, Campurdarat, dan daerah-daerah lainnya. Saya belok kiri ke arah selatan. Beberapa ratus meter, jalan sedikit menikung ke barat. Tikungan yang berada dekat dengan Pasar Burung Bejiitu, menurut garis rel yang ada di www.wikimapia.org merupakan awal sambungan jalur tadi yang berdampingan dengan jalan raya Boyolangu.


Mulai dari sini, dulu jalan rel berdampingan dengan jalan raya hingga masuk kompleks eks-emplasemen Stasiun Campurdarat. Pondasi Jembatan setelah Perbatasan Kota Tulungagung Sepanjang perjalanan hingga pasar Boyolangu, saya sempat menemukan beberapa pondisi jembatan ukuran sedang dan kecil. Pondasi-pondasi kecil yang terlihat mirip sebuah batu atau tugu, tidak ada bekas tanah railbaan yang lain, yang masih bisa ditemukan. Bahkan hingga akhir penelusuran saya hampir tidak menemukan tanah bekas railbaan yang utuh, yang banyak ditemukan hanya beberapa bekas pondasi jembatan kecil saja, dan satu lokasi pondasi jembatan besar yang berada di pinggiran kabupaten Trenggalek. Benar atau Tidak Bekas Reruntuhan Jembatan Itu Dulu Bekas Pondasi Jembatan KA Kuat dugaan dulu railbaan jalur mati di petak Tulungagung-Boyolangu berbentuk setengah bukit, jadi posisinya lebih tinggi dari jalan umum.

Namun, sekarang gundukan tanah bekas railbaan sudah tidak ada lagi, mungkin digali oleh penduduk dan dijadikan pondasi rumah. Yang tersisa hanya sebuah bangunan pondasi jembatannya saja. Untung pondasi-pondasi yang ada luput dari peradaban yang semakin maju, sehingga bukti sejarah masih bisa disaksikan. Beberapa pondasi jembatan ada yang nampak jelas terlihat dari jalan, ada yang mungkin tersembunyi dibalik rerumputan, dan ada satu yang tersembunyi dibalik bangunan pos ronda di pertigaan jalan. Pondasi Jembatan yang Tersembunyi di balik Pos Ronda Satu ini yang nyaris tidak terlihat bahwa dibalik pos ronda yang ada disebelah rumah orang, terdapat sebuah pondasi jembatan yang lumayan besar ukurannya

. Selama perjalanan, untuk menemukan bekas pondasi jembatan, saya banyak mengemudi dengan perlahan, melihat pinggir jalan, persimpangan, dan kali-kali kecil. Barangkali menemukan bekas-bekas jalur KA. Bekas Pondasi Jembatan di Tengah Sawah Kecil Sebelum Dam Boyolangu Pondasi Jembatan di Sungai Irigasi Perjalanan saya terhenti sejenak di Pasar Boyolangu. Saya teringat, dulu teman saya pernah mengatakan bahwa di sekitar sini dulu pernah terdapat bekas stasiun atau halte Boyolangu, katanya sih Polsek Boyolangu yang letaknya tak jauh di selatan pasar Boyolangu itu dulunya merupakan bekas stasiun. Tapi setelah saya amati, saya kurang yakin karena tidak ada ciri-ciri yang menunjukkan dulunya disana ada stasiun Boyolangu. Karena saya kurang yakin, saya tidak mengambil gambar kantor polisinya, takut kalau ketahuan dikira mata-mata..hehe..

 Pasar Boyolangu Berlanjut ke Campurdarat, karena hari sudah mendekati sore jadi perjalanan agak dipercepat. Selamat perjalanan dari Boyolangu ke Campurdarat tidak banyak lagi ditemukan bekas-bekas railbaan. Memasuki daerah kota Campurdarat, fokus saya mencari Puskesmas Campurdarat, karena menurut peta di sebelah puskesmas ada pertigaan ke selatan. Setelah ketemu, langsung saya masuk ke pertigaan itu, saya masuk ke pertigaan tersebut. Berharap menemukan tanda-tanda keberadaan bekas jalur KA, saya malah tidak menemukannya. Jalan Kampung di Kompleks Eks Stasiun Campurdarat Menara Air di kompleks Eks Stasiun Campurdarat

Saya kembali lagi ke jalan raya Campurdarat dan mengarah ke barat. Belum jauh, saya menemukan pertigaan lagi, saya pun belok kesana dan ada pertigaan lagi belok ke barat. Dilihat dari jauh, sepanjang jalan di gang tersebut melengkung khas lengkungan jalan rel. Belum jauh saya berlalu di gang tersebut, saya menemukan sesuatu yang membuat bulu kuduk merinding. Sebuah menara air kecil berdiri di samping pagar bambu rumah orang. Menara tersebut merupakan bekas menara air eks Stasiun Campurdarat. Saya dibuat takjub, menara air yang berusia lebih dari seabad yang lalu masih berdiri kokoh, nyaris roboh karena dibelakangnya ada pohon mangga yang batangnya terlihat hampir mengenai tandonnya.

 Tak berlama-lama disana, saya melanjutkan perjalanan ke Pasar Bandung (bukan Bandung Jawa Barat loh..). Menurut wikimapia.org, bekas railbaan menyimpang ke utara sebelum memasuki pasar Bandung, persimpangannya kira-kira 200m barat SDN 1 Sambitan. Dari Bandung, belok kiri di Jalan Raya Tulungagung Trenggalek Bekas Jembatan Lori Tebu Tapi disana sudah tak mudah ditemui lagi bekas-bekasnya, karena sudah banyak rumah warga. Sebenarnya ada bisa ditemui bekas railbaan yang kini jadi jalan kampung, letaknya di utara pasar Bandung (belakangnya). Namun saya kehilangan arah pertigaan yang mestinya saya telusuri kesana, daripada saya tersesat sendirian akhirnya saya lanjutkan perjalanan. Sesampai di pasar Bandung, saya belok kanan ke utara di perempatan baratnya pasar Bandung. Dari perempatan tersebut, 200m ke utara bekas railbaan menyimpang ke barat (begitulah yang saya amati di wikimapia.org), namun saya hanya menemukan rumah orang di tempat yang diduga menjadi bekas railbaan, sayangnya saya tidak mengambil gambar rumah tersebut.

 Di sepanjang perjalanan dari Pasar Bandung ke Durenan, sebenarnya ada tempat yang ingin saya telusuri, apakah ada tanda-tanda bekas jalur mati atau bekas halte, tempatnya di SDN 2 Ngadisuko. Letaknya yang agak jauh dari jalan raya Bandung-Durenan membuat saya mengurungkan niat kesana. Saya lanjutkan perjalanan ke Durenan. Sampai di pertigaan Pasar Durenan, saya belok kanan ke barat, tujuan Trenggalek. Belum jauh dari pertigaan jalan, saya menemukan bekas jembatan lori tebu, kemungkinan besar jembatan tersebut milik PG Modjopanggung. Menghemat waktu karena hari sudah sore, sekitar jam 3an, saya melanjutkan perjalanan.

Sampai di daerah Kedunglurah, ada sebuah tanah lapang di pinggir jalan raya. Lapangan tersebut tanahnya bertingkat di sisi pinggir jalan. Saya menduga itu dulu bekas railbaan-nya. Sayang, saya tidak memotretnya. Bekas Pondasi Jembatan Besar di barat Pasar Bendo, Trenggalek Berlanjut ke Trenggalek, saya berkendara setengah cepat, setengah pelan, sedang-sedang saja. Masuk daerah Pasar Bendo, saya mulai memperlambat laju motor. Karena menurut wikimapia.org, tak jauh dari pasar, ke arah barat ada jembatan jalan raya berbentuk jembatan kurung, namun tepat di sebelah selatannya, ada keterangan tentang bekas jembatan kereta api. Dan ternyata benar, disana terdapat 1 set pilar besar bekas jembatan KA tanpa kerangka atas jembatan. Kembali saya merasa sedikit merinding melihat sebuah bukti bersejarah bahwasanya dulu terdapat jalur KA dari Tulungagung ke Trenggalek. Panorama Pegunungan Trenggalek Utara dan Sebuah Pondasi Besar eks Jembatan KA Pondasi Jembatan di tengah Sawah yang Berada di Tengah Kota Trenggalek


Perjalanan agak saya percepat kembali, melihat langit agak mendung cukup membuat saya agak khawatir, hanya malas saja kalau harus berhujan-hujanan. Akhirnya saya tiba di kota Trenggalek, sebelum masuk kota, posisi railbaan sudah berada di utara jalan raya. Dari peta wikimapia.org, saya belok ke kanan arah ke timur di pertigaan besar pertama. Ternyata pertigaan tersebut jurusan ke terminal Trenggalek. Melaju terus ke timur, sebelum jalan mentog belok kiri, saya berhenti di areal dekat sawah setelah mata saya tertuju ke 2 buah batu besar kembar di tengah sawah utara jalan.

Batu itu lah pondasi jembatan KA di kota Trenggalek. Namun saya tidak melanjutkan perjalanan penelusuran di tengah kota Trenggalek, saya langsung menuju ke Kecamatan Tugu, yang berada di jalan raya Trenggalek-Ponorogo. Sebenarnya tidak jauh dari batas kota Trenggalek, ada markas kodim Trenggalek. SMPN 1 TUGU Dulu eks Stasiun Tugu Letaknya di selatan jalan raya. Tepat di timur kodim tersebut, disitulah bekas railbaan menyimpang dari selatan ke utara jalan, serong ke barat laut. Terus ke barat, lumayan jauh jaraknya dari kota Trenggalek. Saya sempat berhenti untuk membuka google maps, untuk memeriksa saya sampai di daerah mana. Khawatir saya salah jalan, karena sebelumnya saya tidak pernah lewat daerah sana sendirian.


 Penampakan Belakang SMPN 1 Tugu, Trenggalek Setelah dipastikan benar jalannya, saya lanjutkan ke barat. Saya kira saya salah jalan, ternyata memang jalannya menikung besar ke utara. Tak berapa lama, saya hampir kelewatan ketika saya melewati sebuah sekolah yang bernama SMPN 1 Tugu. Di wikimapia.org, tepat di sekolah tersebut dulunya merupakan bekas emplasemen Stasiun Tugu (bukan Tugu Jogja). Saya berhenti sebentar, lalu saya menuju sebuah jalan kecil di utara sekolah tersebut. Dari jauh saya mengamati, memang sudah tidak ada tanda-tanda bekas bangunan di areal eks stasiun Tugu.


 SMPN 1 Tugu, dulu Eks Stasiun Tugu, Ujung Lintas Cabang TA-Trenggalek Saya rasa sudah cukup penelusuran saya, dalam benak mungkin lain waktu saya akan kembali kesini, untuk melihat lebih jauh areal eks stasiun Tugu. Saya masih penasaran hingga sekarang, karena saya masih belum mendapatkan jawaban lebih banyak atas rasa penasaran saya tentang jalur mati lintas Tulungagung-Trenggalek. Setelah istirahat sejenak, saya lanjutkan perjalanan blusukan saya di bulan puasa ini.

DESA GESIKAN PAKEL

Desa Gesikan dari kata Gisik, yang berarti kering.
Artinya, rawa yang dikeringkan

Di Desa Gempolan, dulu ada rumah Belanda, yang dirawat oleh orang yang bernama Mansyur. Belanda tersebut punya cita-cita ingin menanam tebu. Karena daerahnya masih rawan ,aka diupayakan ditimbun dengan endapan tanah dari sungai. Dialirkannya sungai dari Sumbergayam aliran dari daerah Trenggalek menuju ke Gempolan untuk dialirkan ke selatan. Terbentuknya desa Gesikan adalah dari endapan lumpur sungai (sedimentasi)

Debit air dari Trenggalek Sumbergayam Durenan sangat besar. Walaupun daerah Pakel Tulungagung tidak hujan, jika Trenggalek hujan, tiba tiba aior bisa datang menggenangi daerah Tulungagung selatan.

Lama banjir, dalam setahun biasanya hanya sekali,  selama musim hujan.
Jika musim hujan pekerjaan masarakat rawa rawa sebagai nelayan. Musim kemarau, mereka tetap nelayan karena air tetap menggenang

Yang tinggal di darat, bertani dengan lahan yang sempit, tetapi hanya duimiliki sedikit orang. Belum padat seperti sekarang

Makanan khas rawa
Makan khas musim hujan berpa nasi singkong thiwul, gemul (woh klewer)  Klewr sejenis teratai tapi lebih kecil. Buahnya dijemur ditumbuk, menjadi seperti beras, dimakan seperti beras padi. Buah rumput tuton (rumput rawa)
Setelah padi tidak ditanami, yang tumbuh rumput tuton. Tak ada tanaman lain.


Daerah rawa bukan berarti miskin. Tetapi banyak orang kaya. Ciri rumah panggung dari bambu berbentuk limas. Semua dinding bambu, Hiasan anyaman bvambu menjadi ciri khas seni anyam.

Yang membedakan kaya miskin ada;ah hiasan anyaman. Tengah ada tebeng, ada pintu kayu seperti rumah darat, pintu renteng, berukir.

Penjangga rumah berupa kayu, barulah bambu atau papan
Jika kaya mereka menggunakan kayu jati

Jika punya perahu besar, punya alat menangkap ikan pasti kaya. Banyak memiliki rumpon. Rumpon dikelilingi tali, sebagai penanda pemilik rumpon. Tiadak ada yang berani mengambil ikan di situ. Sama dengan hak milik sawah. Jika banyak rumpon berarti kaya. Jaring membuat sendiri. Setiap nelayan bisa membuat jaraing. Tidak ada penjual jaring.

Banyak yang nanggap taub, wayang, penanda mereka mampu dalam hal ekonomi
 jaring ejabk susuh wide (seperti teple yang bisa digulung, dikelilingkan untuk pagar rumpon. Setelah terbentuk lingkaran, barulah enceng gondok dikeluarkan.

Kesenian yang hidup berupa wayang, tayub, Belum ada jaranan saat itu, justru yang tumbuh adalah seni Jedor, barulah ada Jaranan

Desa Gesikan, Bono, kalau bersih desa harus tayuban, tetapi Pecuk harus Jedoran. Kepercayaan dan adat di punden masing masing

Ciri pakaian waktu ada hajatan, mereka pakai udheng. Blangkon hanya orang orang kaya. Punya udeng, barulah ndandakne blangkon. Jika tidak punya uang tidak mampu ndandakne blangkon.

Camilan masa lalu
Hanya berupa wedang kopi, cukup satu malam. Dimunim sedikit sedikit karena mahal gula. Cingkir kecil. Ngobrol sambil membuat kerangka keris, menggosk kerangka keris atau tongkat (teken)
Wajar jika tongkat dan keris mereka mengkilap. Karena setiap ada kesempatan selalau digosok

Jika kemarau, barulah ada makanan kampung pala kependem
Jika musim hujan, hanya kopi sebagai perantara komunikasi sosial

Pala pendem diarani ganjel lumbung. Karena sebelum makan nasi, makan keleman, agar makan nasi sedikit. Cara berhemat yang sederhana. Karena padi hanya panen setahun sekali. Harus pandai berhemat.






KALI BUNTUNG

Kali Buntung
Dilihat nbamanya aneh. Kali = sungai, buntung = terpotong, putus.
Kalai Buntung adalah salah satu Desa di Kecamatan Bandung. Nama ini berasal dari nama sebuah sungai. Sungai yang mengalir dari arah utara menuju ke selatan, dan bermuara di rawa bagian selatan Bandung.
Sungai ini akhirnya hilang, ditutup dengan tanaman rawa-rawa, yang lama kelamaan menjadi jalan desa yang seperti sekarang ini, di Kali Buntung

DESA JATHUS BANGUN JAYA

Jathus.
Banyak yang tidak kenal kata Jathus, karena nama itu sudah diubah menjadi Bangun Jaya
Jathus (bahasa Jawa) yang artinya duduk sambil tanggan kanan menopang dagu karena kedinginan
Jathus adalah pangkalan "ojek" perahu. Di sini dulu tempat manglnya perahu yang mengantarkan penumpang menuju ke Tulungagung. Dikatakan njathus, sambil menunggu penumpang, tukang perahu kedinginan dududuk berselimut sarung sambil bertopang dagu

DESA PECUK TEMPAT PENGUNGSIAN

Pecuk, salah satu Desa di Kecamatan Pakel Tulungagung selatan, 18 km dari kota
Desa ini, pada masa Tulungagung masih rawa-rawa, merupakan Desa tempat pengungsian dari 5 desa terdekat. Mengapa demikian? Karena desa ini termasuk desa yang tidak terendam di musim banjir.
Hal ini terbukti, ada makam umum yang dipakai oleh 5 desa terdekat.

Bukti yang lain, ada nama dukuh Tembokan (desa Bangun Mulya). Dusun ini terletak di selatan desa Pecuk. Nama tembokan, diambil dari nama tempat yang merupakan perbatasan (tembok). Batas tanah rawa bagian selatan Pecuk dan bagian utara.